Sunday, August 28, 2011

Sebuah Perjalanan Panjang


Nurah, saudara perempuanku nampak pucat dan kurus sekali. Tetapi seperti biasa, ia masih membaca Al-Qur'anul karim. Berbeda dengannya, aku selalu asyik membaca majalah-majalah seni, tenggelam dengan buku-buku cerita dan hampir tak pernah beranjak dari video. Bahkan, aku sudah identik dengan benda yang satu ini.



Setelah tiga jam berturut-turut menonton video di tengah malam. aku dikagetkan oleh suara adzan yang berkumandang dari masjid dekat rumahku. Sekonyong-konyong malas menggelayuti semua persendianku, maka aku pun segera menghampiri tempat tidur.



Nurah memanggilku dari mushallahnya.
"Ada apa Nurah?", tanyaku.



"Jangan tidur sebelum sholat shubuh!", ia mengingatkan.



"Ah. Shubuh kan masih satu jam lagi. Yang baru saja kan adzan yang pertama!"



Begitulah, ia selalu penuh perhatian padaku. Sering memberiku nasehat, sampai akhirnya ia terbaring sakit. ia tergelatak lemah di tempat tidur.



"Hanah," pangilnya lagi suatu ketika. Aku tak mampu menolaknya. Suara itu begitu jujur dan polos. "Ada apa saudariku?", tnyaku pelan.
"Duduklah!" Aku menurut dan duduk di sisinya. Hening ...



Sejenak kemudian Nurah melantunkan ayat Al-Qur'an dengan suaranya yang merdu.



"Tiap jiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu." (Al Imran: 185)



Diam sebentar lalu ia bertanya: "Apakah kamu tidak percaya adanya kematian?"



"Tentu saja percaya!"
"Apakah kamu tidak percaya bahwa amalmu kelak akan di hisab, baik yang besar maupun yang kecil?"
"Percaya. Tetapi bukankah Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang, sementara aku masih muda, umurku masih panjang!"



"Ukhti, apakah kamu tdak takut mati yang datangnya tiba-tiba?
Lihatlah Hindun, dia lebih muda darimu, tetapi meninggal karena sebuah kecelakaan.
Lihat pula si fulanah... kematian tidak mengenal umur. Umur bukan ukuran bagi kematian seseorang.



Aku menjawabnya penuh ketakutan. Suasana tengah malam yang gelap mencekam, semakin menambah rasa takutku.



"Aku takut dengan gelap, bagaimana engkau menakut-nakutiku lagi dengan kematian? Dimana aku akan tidur nanti?" Jiwa asliku yang amat penakut betul-betul tampak. Kucoba menenangkan diri... aku berusaha tegar dengan mengalihkan pembicaraan pada tema yang menyenangkan, rekreasi.



"Oh ya, kukira ukhti setuju pada liburan ini kita pergi rekreasi bersama?", pancingku.



"Tidak, karena barangkali tahun ini aku akan pergi jauh, ke tempat yang jauh... mungkin ... umur ada di tangan Allah, Hanah," ia lalu terisak.



Suara itu bergetar, aku ikut hanyut dalam kesedihan.



Sekejap, lansung terlintas dalam benakku tentang sakitnya yang ganas. Para dokter sudah tak sanggup, dan itu berarti dekatnya kematian.



Tetapi, siapa yang mengabarkan ini semua padanya? atau ia memang merasa sudah datang waktunya?



"Mengapa termenung? Apa yang engkau lamunkan?", Nurah membuyarkan lamunanku.



"Apa kau mengira, hal ini kukatakan karena aku sedang sakit? Tidak. Bahkan boleh jadi umurku lebih panjang dari umur orang-orang sehat.



Dan kamu, sampai kapan akan terus hidup? mungkin 20 tahun lagi, 40 tahun atau ...



Lalu apa setelah itu? Kta tidak berbeda. kita semua pasti akan pergi, entah ke surga atau ke neraka. Apakah engkau belum pernah mendengar ayat:


"Barang siapa dijauhkan dari Neraka dimasukkan ke dalam Surga maka sungguh ia telah beruntung" (Ali Imran: 185)



"Sampai besok pagi," ia menutup nasehatnya.



Ak bergegas meninggalkannya menuju kamar. Nasehatnya masih tergiang-ngiang di gendang telingaku,
"Semoga Allah memberimu petunjuk, jangan lupa shalat!"



Pagi hari ... Jam dinding menunjukkan angka delapan pagi. Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar.
"Pada jam ini biasanya aku belum mau bangun" pikirku.
Tetapi di luar terdengar suara gaduh, orang banyak terisak.



Dan benar, Nurah pingsan, ayah segera melarikannya ke rumah sakit.



Di tengah kerumunan para dokter yang merawat, dari sebuah lubang kecil jendela yang ada di pintu, aku melihat kedua bola mata Nurah sedang memandangiku.
Ibu yang berdiri di sampingnya tak kuat menahan air matanya. waktu besuknya habis, ibu segera keluar dari ruang perawatan intensif.



Kini tiba giliranku masuk. Dokter memperingatkan agar aku tidak banyak mengajaknya bicara. Aku di beri waktu dua menit.



Aku dduk di pinggir dipan. Lalu kucoba meraba betisnya, tapi ia segera menjauhkannya dari jangkauanku.



"Maaf, kalau aku mengganggumu!", aku tertunduk.



"tidak apa-apa. Aku hanya ingatFirman Allah Ta'ala:

"Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan), kepada Rabbmlah pada hari itu kami dihalau". (Al Qiyamah: 29-30)



Nurah melantunkan ayat suci Al Qur'an.
Aku menguatkan diri. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tidak menangis dihadapan Nurah, aku membisu.



"Hanah, berdoalah untukku. Mungkin sebentar lagi aku akan menghadap. Mungkin aku segera mengawali hari pertama kehidupanku di akherat. Perjalananku amat jauh tapi bekalku sedikit sekali".



Pertahananku runtuh. Air mataku tumpah. Aku menangis sejadi-jadinya. Bersamaan dengan tenggelamnya matahari pada hari itu. Nurah meninggal dunia ....



Suasana di rumah kami digelayuti duka yang amat dalam. Sunyi mencekam. Lalu pecah oleh tangisan yang mengharu biru. Sanak kerabat dan tetangga berdatangan melawat. Aku tidak bisa membedakan lagi, siapa-siapa yang datang, tidak pula apa yang mereka percakapkan.



Aku tenggelam dengan diriku sendiri. Ya Allah, bagaimana dengan diriku? Aku tak kuasa lagi, meski sekedar menangis.



Aku ingat firman Allah yang dibacakannya kepadaku menjelang kematiannya.


"Dan bertaut betis (kiri) dengan betis (kanan)".
Aku kini benar-benar paham bahwa,
"Kepada Rabbmulah pada hari itu kamu dihalau"


Aku menangisi hari-hariku yang berlalu dengan sia-sia.



KEMATIAN ITU
SEBUAH
PERJALANAN YANG PANJANG



( Mutiara Hati )

No comments:

Post a Comment